Headline

Berita KAMMI

Agenda rutin

tsaqofah

Gerakan dakwah

Buletin Kammi

Tokoh Kita

» » Bantenku Berat Sebelah (Refleksi 16 Tahun Banten)



oleh : Sukatno (DKP KAMMI Banten)
                16 tahun sudah provinsi Banten berdiri semenjak lepas dari provinsi Jawa Barat.  Di usia 16 tahun ini kiranya kita berharap bahwa cita-cita awal pendirian provinsi Banten dapat tercapai. Yakni pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan. Namun ternyata masih jauh panggang dari pada api. Hal ini dapat kita lihat dari tingkat IPM yang masih rendah dan menurunnya tingkat partisipasi angkatan kerja serta naiknya angka jumlah pengangguran, kemiskinan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai.
                Sejak tahun 2007, Banten telah mengalami bonus demografi, yakni dimana penduduk usia produktif lebih banyak daripada usia non produktif. Kenyataan ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan dan mempersiapkan generasi pada usia produktif ini menjadi generasi yang memiliki kualitas yang mumpuni dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Banten. Tetapi sebaliknya, jika hal ini diabaikan oleh pemerintah, maka bonus demografi ini akan menjadi bencana untuk provinsi Banten itu sendiri.
                Jika kita melihat data  BPS Provinsi banten tahun 2016 persentase penduduk Banten tahun 2015 jumlah anak-anak usia 0-14 tahun sebanyak 3.417.496 jiwa atau sekira 29% , di usia produktif, antara 15-64 tahun, sebanyak 8.165.589 jiwa atau sekira 68%, dan Lansia usia 65 + sebanyak 372.158 jiwa atau sekira 3%. Adanya bonus demografi akan memunculkan satu kesempatan (window of opportunity) bagi suatu wilayah untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu contoh negara yang berhasil memanfaatkan bonus demografi adalah Cina. Banten yang sudah mengalami momentum bonus demografi sejak 2007 seharusnya dapat memanfaatkan peluang tersebut.  
                Dalam segmentasi pendidikan pada tahun 2015, kita dapati tingkat partisipasi pendidikan yang masih rendah. Rata-rata lama sekolah di Banten baru sampai 8 tahun atau baru hanya sampai kelas dua SMP. Hal ini jika kita tarik pada visi pendidikan yakni pendidian di Banten belum mampu menuntaskan wajib belajar 9 tahun secara keseluruhan. Daerah yang berada di posisi terendah ialah di Kabupaten Lebak, rata-rata lama sekolah hanya sampai 5,86 tahun atau baru sampai kelas Enam SD. Lain halnya dengan daerah Kota Tangsel yang memiliki tingkat partisipasi pendidikan yang jauh melebihi kabupaten lebak, yakni rata-rata 11,57 tahun atau kelas Tiga SMA.  Kita bisa merasakan bahwa secara rata rata pendidikan di Banten masih timpang antara kota Tangerrang selatan di utara dan Kabupaten Lebak di Selatan Banten.
Dalam angka partisipasi sekolah, secara nasional pada usia 16-18 tahun dan usia 19-24 tahun , berada di bawah rata-rata standar nasional. Usia 16-18 tahun, Banten hanya sekira 66,73 % dari standar nasionalnya, 70,32 %. Sedangkan usia 19-24 tahun, Banten hanya mencapai 19,68 % di bawah standar nasionalnya, 22,95 %.  Untuk APK (Angka Partisipasi Kasar), pada jenjang SMA standar nasionalnya ialah 77,39 % dan provinsi Banten ialah 69,73 %. Sehingga ini mempegaruhi angka partisipasi sekolah. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi jenjang, semakin rendah partisipasinya.
                Jumlah akses pendidikan pada jenjang SMA, tahun 2015 di Banten baru mencapai 1.543 sekolah. Keberadaan jumlah SMA/MA/SMK tidak merata hingga ke pelosok daerah. Untuk daerah perdesaan SMA/MA/SMK umumnya berlokasi di Ibukota Kecamatan. Anak usia sekolah yang berada jauh di pelosok harus menempuh jarak belasan kilometer untuk mendapatkan pendidikan menengah. Misalnya saja di Ds. Curuglanglang, Kec. Munjul Kab. Pandeglang , anak usia sekolah menempuh 7-8 kilometer untuk sampai ke sekolah. Hal ini menjadi penyebab rendahnya tingkat partisipasi pendidikan di provinsi Banten pada jenjang sekolah menengah. Ketidak merataan akses pendidikan terjadi pada wilayah perdesaan dan jarak yang jauh dibanding di wilayah perkotaan.
                Mengapa kemudian pendidikan di Banten rendah, salah satunya karena hal ini disebabkan tingkat korupsi di Banten dalam bidang pendidikan tertinggi se nasional. Menurut data ICW, kerugian negara dalam korupsi pendidikan di Banten dengan total kerugian negara mencapai 209 Milyar pada tahun 2014.
Selanjutnya mengenai angka pengangguran, Banten pernah mengalami tingkat pengangguran tertinggi se-nasional sejak  tahun 2005-2013 artinya selama 8 tahun, Banten dinominasikan sebagai provinsi yang tingkat penganggurannya tertinggi se-nasional. Sedangkan pada tahun 2015  Tingkat pengangguran naik dengan persentase 9.55% atau 509.383 jiwa, berada di atas rata-rata TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) Nasional, yakni 6,18%. Sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja mengalami penurunan dari 63,84% menjadi 62,24%. Dan  Pengangguran terbanyak berada di Kab. Tangerang, sejumlah 136.277 jiwa. Jika kita membandingkan provinsi yang seusia dengan Banten yaitu Gorontalo, maka kita melihat bahwa Gorontalo lebih berhasil memangkas angka pengangguran yang signifikan yakni dengan persentase 4,65 %. Hal ini menandakan bahwa pengangguran masih menjadi momok yang tidak bisa dilepaskan dari salah satu provinsi penyangga ibukota DKI Jakarta ini.
                Presentase jumlah kemiskinan pada tahun 2015 terdapat 690,67000 jiwa atau 5,75 %. Data ini meningkat dari tahun 2014 sebanyak 649,20000 jiwa atau 5,51 %. Namun yang sedikit menggembirakan adalah data ini masih lebih baik, karena berada di bawah rata-rata standar nasional 11,13 %. Selanjutnya persentase penduduk termiskin berada di Pandeglang, 9,50 % tahun 2014 dan terendah daerah Tangerang Selatan, 1,68 % dari Jumlah penduduk Banten 11.955.243 jiwa. Namun yang harus diperhatikan ialah indeks GINI rasionya yakni 0,40 %. Semakin tinggi mendekati angka 1 maka semakin timpang pendapatan penduduk. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Jika dibandingkan dengan GINI rasio DKI Jakarta tidak jauh beda dengan Banten. DKI Jakarta memiliki GINI rasio 0,43 %.  
                Dalam fasilitas kesehatan kita dapati sebuah fenomena yang tidak kalah memprihatinkan. Telah terjadi kesenjangan antara kota dan kabupaten. Dan apabila jumlah rumah sakit disandingkan dengan jumlah penduduk, maka akan kita temukan sebuah hal yang mengejutkan. Contohnya saja di Kab. Serang yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.463.094 jiwa hanya memiliki satu fasilitas rumah sakit. Kita bandingkan dengan Kota Tangerang Selatan yang memiliki 23 rumah sakit, dari jumlah penduduk 1.492.999 jiwa. Ditambah dengan kenyataan bahwa Banten belum memiliki rumah sakit jiwa. Jumlah gizi buruk di Banten mencapai 1.051 anak, dengan yang terbanyak ada di Kab. Serang sebanyak 263 anak dari bayi yang lahir sejumlah 3.029 jiwa. Bisa dibandingkan dengan bayi yang lahir di Kota Tangerang Selatan, dari bayi yang lahir dari 29.168 jiwa, jumlah gizi buruk hanya 28 anak. Sehingga hipotesanya ialah jumlah fasilitas rumah sakit ternyata mempengaruhi angka gizi buruk.
                Dari data BPS pada tahun 2016 diatas, maka kita dapat tarik dua  kesimpulannya bahwa masih terjadi kesenjangan pembangunan yang sangat signifikan antara Banten Utara dengan Banten Selatan, dan antara Kota dan Kabupaten. Tentu hal ini menjadi catatan memperihatinkan di usia provinsi Banten yang akan genap 16 tahun pada tanggal 4 Oktober 2016 nanti. Banten belum sepenuhnya bangun dari tidur panjangnya dari ketidakmerataan pembangunan dan rendahnya kesejahteraan.
                                                               
                                                                                                                                                Serang, 02 Oktober 2016


#KAMMI WILAYAH BANTEN#16TahunBanten#

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar: